Ajaran lainnya tergores dalam prosa seperti dikutip di bawah ini:
Jer run -tumurining tumus,
winetu hing praja,
nalar wikan reh kasudarman,
hayu ru wiyeng badra,
nukti nutinglagon,
wirama natyeng kewuh,
sangka sangganing-rat.
(Adapun sifat-sifat kebaikan yang layak diajarkan,
tidak lain mesti diolah oleh pertimbangan nalar [akal sehat],
antaranya kewaspadaan dan bijaksana dalam berbuat sebagai pelindung,
berusaha menanamkan di setiap tempat,
hendaknya Iaksana menata gending,
lagu yang bersuasana ‘mengatasi penghalang hayat’,
yakni segala yang kita emban sebagai tugas selaku makhluk di jagat besar.)
Lebih menjelaskan kerangka cita-cita di atas, kemanusiaan menurut konsepsi Kyai Samin Surosentiko adalah membangun kebudayaan yang paling inti.
Salah satu andaran Kyai Samin yang lain terungkap dalam Pangkur yang berbunyi demikian:
Saba malih dadya garan,
anggegulang gelunganing pambudi,
palakrami nguwoh mangun,
mamangun treping widya,
kasampar kasandhung dugi prayogantuk,
ambudya atmaja tama,
muga-mugi dadi kanthi.
(Serta lagi yang mesti kita jadikan senjata,
untuk melatih ketajaman budi,
dapat melalui perkawinan yang membuahkan kesanggupan,
yakni semakna dengan meraih ilmu yang luhur,
karena dalam perkawinan itu kita jatuh-bangun dalam upaya mencari ‘cukup’,
apalagi tatkala menghasrati datangnya anak-keturunan,
yang kelak menjadi kawan dalam mengarungi bahtera kehidupan.)
Tegasnya, menurut ajaran Kesaminan, perkawinan adalah wadah prima bagi manusia untuk belajar, karena melalui lembaga ini kita menekuni ilmu kesunyatan.
Bukan saja karena perkawinan nanti membuahkan keturunan yang akan meneruskan sejarah hidup kita, tapi juga karena sarana ini menegaskan hakikat ketuhanan, hubungan antara pria dan wanita, rasa sosial dan kekeluargaan, dan tanggung jawab.
Jelas, masyarakat Samin memandang sakral terhadap lembaga perkawinan.
Dalam pada itu, terdapat latihan olah-budi dan olah-batin, yang oleh Samin Sepuh (Ki Surowijoyo) dilukiskan dalam Sekar Pocung, seperti di bawah ini:
Golong manggung ora srambah ora suwung,
kiyate neng glanggang, lelatu sedhan mijeni,
ora tanggung, yen lana kumerut pega.
Naleng kadung kadiparan salang sandhung,
tetege mring Ingwang,
jumeneng kalawan Rajas,
lamun ginggang sireku umanjing praha.
(Sesuatu yang bulat, tak teraba dan tiada senyap,
namun kuat melaju di pengembaraan,
bagaikan bara api yang mengundang tampilnya diri,
tiadalah tahu kelaknya,
bila keabadian itu sirna bersama asap.
Hati nan terluntur, betapa mungkin timbulkan kesulitan,
akan tetapi akhirnya padaKu jua pautannya,
berdiri [mantap] dengan Aku yang bertahta,
mengalahkan nafsu-nafsu dan meraih Iman tertinggi maka dengan demikian Kau dan Aku tak akan terpisahkan, karena kita menyatu dalam sinar suci.
Ungkapan di atas berbau filsafat wihdatullwujud, yang barangkali bisa menimbulkan salah tafsir bila diterima secara harafiah.
Dari kata-kata tersebut terasa bahwa keyakinan orang Samin sejalan dengan konsepsi tasawuf Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Ronggowarsito, Nuruddin Ar Raniri, Bukhari Al Jauhari, dan prinsip monoistis dalam Pamoring Kawula-Gusti.
Karena ilmu seperti ini hanya mungkin dipahami bila kita telah sampai kepada Makrifat, maka orang Samin justru menafsirkannya sebagai semacam kedirian yang sempurna.
Kedudukan Ingsun (Ingwang, Aku, Sinar Praba, Nur Panunggal, Purusha, Lingga Sarira, dan lain-lain) secara definitif menunjukkan konsepsi theologinya.
Pengagungan diri sebagai sentral hayati, di tengah kosmos, seakan suatu “rasa kumingsun”, namun sebenarnya tidak.
Jelas dari syair di atas, sekalipun Aku (kawula) dan Dikau (Gusti) merupakan dua bukit yang terpisah namun dalam memadukan tekad, semangat, niat, kemanunggalan kosmis, terdapat perluluhan, perleburan.
Dalam istilah parapsikologi situasi ini disebut ekstase, het niet, vierlossing, atau dalam sastra klasik Jawa diistilahkan sebagai sumusuping Rasajati, dumugi telenging Sonyaruri.
Kalau demikian halnya, maka sebenarnya dari segi kredo batiniah orang Samin yang sering melakukan samadhi di ‘Balai Pasujudan’ tak berbeda dengan jalan pikiran Iqbal, pujangga Pakistan yang menulis Asrar-I-Khudi, yang meskipun pantheistis tetapi melungguhkan sifat, peranan serta makna manusia sebagai faktor penentu bagi kehidupan ini.
Kiranya salah dugaan Suhernowo dan kawan-kawan, Marcel Boneff, Harry J. Benda, Lance Castles, dan Victor T. King yang dalam kesimpulan sementara menuduh gerakan Samin sebagai gerakan yang tanpa landasan theisme.
Pengertian theologi menurut konsepsi Barat memang tak selamanya senafas dengan alam pikiran Timur yang kosmis-synthesis dan akulturatif di mana “memadukan diri dengan alam” dan paham “kepasrahan mutlak makhluk Al Khalik” mempunyai landasan kontemplatif.
Di atas telah diketengahkan pula penghormatan tulus Wong Samin terhadap lembaga keluarga dan kecintaan akan anak sebagai proyek hari depan.
Hal ini niscaya dapat kita kaitkan dengan pendapat Dr. Margaret Mead yang meneliti suku Samoa di Lautan Teduh pada tahun 1928, di mana ia melihat peranan kaum muda sebagai proyek sejarah dan budayawi, sehingga penghargaan terhadapnya cukup besar.
Mereka sebagai “the post figurate society” yang tidak bisa ditinggalkan bila orang berbicara tentang pembangunan kewilayahan.
Sebabnya cukup jelas, karena ini berawal pada humanisme yang esensial.
Perkawinan, perceraian, permaduan, rujuk, hubungan antara anak dan orang tua, hingga hak andarbe (hak untuk ikut memiliki) sesuatu barang senantiasa berhubungan dengan pertimbangan sosial, sehingga terasa seakan kita berhadapan dengan masyarakat komunal.
Di desa Kutuk, Kudus Selatan, kini orang Samin berjumlah kira-kira dua ribu orang dan hidup di bidang pertanian.
Tahap-tahap kemajuan harus dilalui dengan merangkak lambat. Mereka menolak mesin seperti traktor, huller, dan lain-lain, karena alat-alat tersebut mempersempit penggunaan tenaga manusia setempat.
Seperti diketahui, di daerah Kesaminan seperti Kutuk, Tapelan, Tlagawungu, Nginggil, masih banyak terjadi hal yang bila dilihat dari kacamata sekarang kurang tepat.
Ambillah umpamanya ”bowong” (kebo-wong), yakni penggunaan tenaga manusia sebagai pengganti lembu untuk menarik bajak dan gilingan, penyosohan padi oleh manusia, pembuatan gula aren dan tebu dengan tenaga manusia, semata-mata lantaran keengganan terhadap produk teknologi mutakhir.
Apakah mereka ‘nonpraktis’ dalam kehidupan sehari-hari, dapat dibuktikan dari kenyataan bahwa di daerah Pati dan Brebes, Sa¬min Jaba, Samin Anyar, telah meninggalkan tata cara kekunoan tadi, dan menganut ke¬laziman di desa masa kini.
Dalam hal ini, Wong Sikep, yakni Samin yang dulunya fanatik tapi kini meninggalkan ajaran dasar dan memilih agama formal, yakni Budha-Dharma, misalnya di Klapaduwur (Blora), Purwosari (Cepu), dan Mentora (Tuban) hanya kelihatan Saminnya bila kita lihat dari kebersahajaan dan kesenangan berpakaian polos hitam dari bahan kasar, sedang kredo agamis sepenuhnya telah Budhasentris.
Menurut Harry J. Benda, orang Samin asli sering menyebut dirinya “Ummating Agama Adam Kawitan”; yang meyakini tujuan hidup yakni kesempurnaan umat manusia, sedangkan manusia hidup di tengah-tengah Urip, sementara kehidupan ini abadi, dan manusia diikat oleh cakra panggilingan atau jalan karmanya sendiri-sendiri. Untuk menebus dosanya selagi di dunia, manusia harus mengalami reinkarnasi alias penitisan beberapa kali.
Bersambung….
Ki Sangkrip 2024