Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Banner 728x250
BeritaPerspektif

KIAI SAMIN DAN PERJUANGANNYA (5) Sikap Puritan dan Insan Kamil

×

KIAI SAMIN DAN PERJUANGANNYA (5) Sikap Puritan dan Insan Kamil

Sebarkan artikel ini
Samin Surosentiko
Samin Surosentiko
Example 325x300

Mungkin suatu hal yang menggembirakan bahwa sejak kemerdekaan suku Samin sudah lebih terbuka bagi masyarakat luar.

Sehingga, misalnya para tamu dari manapun tidak lagi dicurigai sebagai ‘utusan yaksadanawa’.

Example 300x600

Bahasa lugu yang mereka gunakan, yang mirip bahasa bagongan di kraton, bercampur dengan sedikit bahasa Kawi, ditambah dialek setempat, makin lama makin berubah menjadi bahasa Jawa Baru yang umum, hanya di kalangan orang-orang tua.

Masih dilakukan percakapan dalam bahasa asli tersebut. Begitu pula anak-anak mereka mulai disekolahkan di sekolah-sekolah umum ataupun di madrasah terdekat.

Beberapa di antara anak-anak mereka sudah menamatkan SMP di kota; anak-anak kepala desa di daerah Kesaminan malah ada yang sudah mengecap pendidikan formal SMA dan SPG. Tapi belum ada yang lebih tinggi dari itu.

Kemurnian ajaran kesaminan mungkin hanya bisa bertahan hingga setengah, atau paling banter, satu abad. Setelah itu, mengingat meluasnya penggunaan alat transportasi modern.

Adanya radio dan surat kabar serta pengaruh perkembangan pesat teknologi lainnya, isolasi mereka lambat laun menipis.

Perlu ditambahkan, kendati mereka cenderung menolak menjadi anggota organisasi politik dan hanya memberikan partisipasinya kepada lembaga-lembaga yang bersifat sosial, ekonomi, dan kesenian setempat, tetap membuktikan bahwa sisi terpenting ajaran baku Kyai Samin tidak diabaikan, bahkan menjadi semacam pedoman penghayat. Masuk akal jika mereka tampak puritan.

Biasanya, beberapa pemuka masyarakat Samin yang telah berusia lanjut menyimpan beberapa ‘kepek’.

Yaitu buku-buku sejenis primbon yang mengatur perilaku kehidupan luas, sikap mental, dan pranatamangsa.

Di antaranya menyangkut dasar-dasar kebajikan, kebijaksanaan, petunjuk dasar ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi, remaja, dewasa, dan antarwarga Kesaminan.

Yang kami peroleh dari Tapelan misalnya “Punjer Kawitan”, semacam primbon sejarah solosi-lah; “Serat Pikukuh Kasajaten”, seperti katurangganing manungsa menurut batasan watak dan tingkahnya; “Serat Uri-uri Pambudi”, yakni petunjuk melakukan tapa brata dalam meraut budi-pekerti; dan “Jati Kawit”, yang berisi kemuliaan akhirat.

Selain ditulis dengan huruf Jawa, buku-buku tersebut umumnya disusun dalam sekar macapat. Tentang pandoming laku agesang (dasar kehidupan) tertulis dalam tembang Dandanggula; begini:

Pramila sasama kang dumadi,
makanireh papaning sujana,
sayoga tulus pikukuhe,
angrengga jagat agung,
lelantaran mangun sukapti,
limpade kang sukarsa,
Wisaha angayun,
suka bukti mring prajengwang,
pananduring mukti,
kapti amiranti,
dilah kandhlling satya.
(Maka kepada sesama hidup,
dengan cara memahami tingkat
kehidupan masing-masing,
seyogyanya tulus cara yang
ditempuh [untuk memperkuatnya],
menghiasi dunia yang besar dengan lantaran tampil secara meyakinkan,
dengan mengetengahkan kelincahan dan kebolehan karsa,
memberikan bukti kebaktian bagi negeri,
tiada lain menanamkan harkat kemuktian,
kelengkapan dari segala persiapan dan itulah sebagai nyala pelita dalam kesetiaan berjuang.

Idealistis sekali, bukan? Apakah mungkin tulisan semacam itu lahir dari tangan petani biasa? Tentu tidak! Kyai Samin memang bukan petani biasa.

Ia adalah putera priyayi yang menyamar sebagai petani, tepat seperti yang dilakukan oleh Pangeran Handayaningrat, Pangeran Panggung, Ki Kebo Kanigara, dan Ki Kebo Kenanga yang menyamar sebagai ‘orang kecil’.

Demi suatu janji untuk membantu mereka memperoleh harga diri. Dan bila kita tilik hasil penelitian Suripan Sadi Hutomo, ternyata Kyai Samin Surosentiko adalah cucu seorang pangeran.

Kegigihan dalam menggoreskan kalam, untuk membangun insan kamil, manusia sebagaimana terungkap tadi, membuktikan bahwa ia mempunyai latar belakang budaya dan lingkungan yang pernah kaya.

Bersambung…..

-Ki Sangkrip 2024