Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Banner 728x250
BeritaPerspektif

KIAI SAMIN DAN PERJUANGANNYA (4) Tradisi ‘Wong Kalang’

×

KIAI SAMIN DAN PERJUANGANNYA (4) Tradisi ‘Wong Kalang’

Sebarkan artikel ini
Samin Surosentiko
Samin Surosentiko
Example 325x300

Lepas dari pengertian Budhisme dan Hinduisme, atau bahkan Islamisme sekalipun, orang-orang Samin mengikuti tradisi leluhurnya yang berasal dari kalangan Wong Kalang di lembah Bengawan Solo.

Dimana sejak akhir pemerintahan Prabu Brawijaya di Majapahit telah memeluk agama Sywa-Budha, yakni sinkretisme antara Hindu-Budha.

Example 300x600

Akan tetapi kemudian, dalam dua-tiga generasi, sebagaimana masyarakat Tengger dan Badui – kepercayaan Syiwa-Budha tersebut dilengkapi dengan beberapa kredo yang dekat dengan keyakinan Islam.

Mengapa demikian? Kita ingat, ajaran Syekh Siti Jenar tersiar luas di daerah sekitar lembah Bengawan Solo (Boyolali dan Surakarta) berkat kegiatan Ki Ageng Pengging, salah seorang murid Siti Jenar.

Dan kita bisa memahaminya kalau kita perhatikan berapa banyak mantra dan doa di lingkungan orang-orang Samin itu yang menggunakan beberapa simbol yang kita kenal berasal dari ajaran Islam.

Sebagaimana orang-orang Badui dan Tengger, orang-orang Samin juga menyebut Kalimah Syahadat menggunakan istilah Nur Muhammad, Luhmaful, Arasy, Mikrat, Mukmin, Kalifatullah, Kabirulngalam, Kamidulngalam, Roh Idlafi, Roh Rabbani, dan lain-lain.

Tetapi, bukanlah ajaran-ajaram tersebut di atas terdapat dalam buku-buku Wirid Hidayat Jati dan Wirid Maklumat Jati serta Serat Pangracutan, karangan Raden Ngabei Ronggowarsito ? Apakah ada kesejajaran di sini?

Dengan telaah singkat ini, menekankan antara dasar religius dan dasar kehidupan riil pada masyarakat Samin telah menjadi semacam aksioma dari generasi ke generasi yang tidak perlu dipertanyakan lagi.

Mereka tepat disebut sebagai insan berbudi budaya, ataupun masyarakat religius.

Kalau saya boleh menyebut, berdasarkan penelitian ini, wong Samin lebih dekat dengan ‘kaum abangan’ umumnya, sebagaimana diistilahkan oleh Clifford Geertz.

Di sini patut ditekankan ucapan Asisten Wedana Randublatung, yang mengawali tulisan ini, sebenarnya merefleksikan kejengkelan penguasa pribumi setempat karena tindakan-tindakan Kyai Samin dan pengikut-pengikutnya.

Yang kendatipun tanpa kekerasan namun gerakan “mogok” yang mereka lakukan (seperti enggan membayar pajak, mengambil kayu di hutan semaunya, bepergian tanpa mau membeli karcis kereta api, dan sebagainya) bisa digolongkan sebagai perbuatan yang bisa menimbulkan kegelisahan umum, menyinggung banyak pihak, menimbulkan kontradiksi berlarut-larut, dan lain-lain.

Malahan dapat ditambahkan, dengan ucapan di atas, para pejabat pangreh praja melemparkan penghinaan yang tajam kepada orang yang tanpa daya.

Seolah-olah telah cukup bukti bahwa Kyai Samin tidak mampu menghayati buku ajaran kelompoknya sendiri.

Bahkan juga, suatu pengingkaran terhadap fatwa-fatwa yang sudah dikenal sebelumnya.

Hasil penelitian menjelaskan, antara lain juga menegaskan bahwa suku Samin yang terdapat di Bojonegoro, Blora, dan Kudus, dewasa ini (1975) masih beranggapan bahwa Kyai Samin Sepuh dan Anom tidak pernah mati, melainkan mokhsa menjadi penghuni kaswargan.

Jadi tokoh-tokoh ini dimitoskan secara fanatik. Upacara Rasulan dan Mauludan bagi kalangan Samin misalnya, dijadikan tradisi untuk mengenang keperkasaan dan kepahlawanan Kyai Samin.

 

Bersambung….

-Ki Sangkrip 2024