Melihat lontaran pikiran Kyai Samin Surosentiko sebagai satu faset gerak reaktif kita sendiri untuk mencoba menjelaskan historiografi dari sudut lain, agaknya memang mungkin. Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo malahan menelaah secara ilmiah epos perjuangan rakyat yang berbentuk ‘kraman brandalan’ sebagai suatu babak sejarah nasional.
Meskipun aktivitas tadi landasannya patriotisme, melainkan hanya suatu letupan cita-cita mesianisme, Ratu Adil, yang menentang kekuasaan kulit putih.
Adalah tepat kata sejarawan Mohammad Ali bahwa mitos ciptaan Belanda tentang superioritas Belanda, tentang bangsa Indonesia “yang sebetulnya tidak ada”, tentang bangsa-bangsa di Hindia Belanda, rupa-rupanya masih bergema dalam bawah sadar kita.
Ejekan Belanda bahwa historiografi kita hanya merupakan himpunan dongeng, kumpulan mitologi dan terdiri dari fantasi yang luar biasa, sudah ditentang oleh almarhum Prof. Husein Djajadiningrat.
Mengesankan juga untuk diamati, betapa dalam hamparan juang yang bersifat kerakyatan tadi trauma “bangsa Barat menginjak bangsa Timur dan menimbulkan kehancuran fisik dan mental”, ternyata hidup dan berakar selama berabad-abad.
Kyai Samin selama dua generasi boleh disebut sebagai contoh. Di mana Samin Sepuh dan Samin Anom telah bergulat gigih dan mati-matian menegakkan suatu utopia.
Mungkin sekali, sebagai sebagai homo utopis, Kyai Samin berusaha menciptakan masyarakat bersahaja lahir-batin, dengan konsepsi-konsepsi yang terencana.
Namun sayang, karena penangkapan mendadak atas dirinya serta perampasan buku pusaka dan beberapa wawasan platoniknya, tokoh ini menjadi kabur.
Bahwa ia (Kyai Samin Anom: Surosentiko) dalam kehidupan penyamarannya sebagai kawula-alit itu kemudian mempersiapkan desa Ploso Kediran sebagai basis pemberontakan melawan pemerintah Hinda Belanda, patut kita tinjau kaitan histories-fungsionalnya.
Yakni sejauh mana ajaran-ajaran Kesaminan (Saminisme) tersebut melembaga. Kenyataan membuktikan bahwa rakyat desa Tapelan, Ploso, dan Tanjungsari mengangkat Kyai Samin sebagai raja dengan gelar Prabu Panembahan Suryongalam (cahaya alam semesta), dan sebagai patih merangkap senapatinya, ia menunjuk Kamituwo Bapangan dengan gelar Suryongalogo (cahaya medan laga, artinya pahlawan yang selalu jaya).
Sekaligus membuktikan bahwa wadah aristokrasi-feodal tetap diagulkannya sebagai lambang kekuasaan pribumi Jawa yang sah dan berdaulat.
Hal ini memperkuat dugaan kita bahwa ajaran Kesaminan juga kemudian ditujukan, dikonkretkan, bahkan dijabarkan kepada pranata kehdupan yang sangat kompleks.
Termasuk di antaranya sikap etis, sikap religius, dan prinsip kemandirian negara.
Bersambung….
Ki Sangkrip 2024