Kyai Samin, kitabira durung tumanem aneng kalbu…
(Kyai Samin, kitab andalanmu belum tertanam di dalam sanubari!).
Demikian ucapan Raden Pranolo, Ndoro Seten (Asisten Wedana) Randublatung, tatkala melihat wajah Kyai Samin yang kuyu, dengan tangan diikat, rambut digunduli seperti pesakitan.
Juga dengan celana kolor hitam lusuh menempel di tubuhnya yang ringkih. Kyai Samin Surosentiko tengah hari itu dihadapkan kepada Ndoro Seten di ngasistenan.
Setelah semalam ditahan di bekas tobong gamping tidak jauh dari situ. Ia ditangkap setelah sia-sia mencoba melawan agen polisi yang mengepung Balai Desa Ploso.
Empat puluh hari sebelumnya, tepatnya pada tanggal 8 November 1907, sesepuh suku Samin itu mewisuda dirinya sebagai ‘Ratu Tanah Jawi’ dengan gelar Prabu Panembahan Suryongalam.
Kisahnya sebagai ‘raja’, tamatlah sudah. Tetapi sebagai sesepuh, yang memiliki kewibawaan di luar dugaan orang dan daya sugesti yang menyebar di kawasan-kawasan yang jauh di luar desanya, kehadirannya tetap terasa hingga kini.
Di hadapan Ndoro Seten, polisi, utusan khusus Kontrolir dari Blora, dan team pemeriksa lainnya pada hari yang panas itu, ia tampak kecil dan tak lebih sebagai pesakitan belaka.
Seperti penjahat kaliber kakap yang “berani melakukan aksi perlawanan” terhadap Kanjeng Gupermen (Pemerintah Kolonial Hindia Belanda).
Hukuman yang jelas bakal ia rasakan adalah dibuang ke Nusakambangan, dan jika ada hal-hal yang memberatkan, tak ayal lagi Sawahlunto adalah tempat berikutnya.
Kualifikasi perlawanan Kyai Samin Surosentiko menentang penjajahan asing dapat ditinjau dari berbagai segi.
Kalau kita perhatikan bagaimana garangnya upaya pemerintahan kolonial Belanda pada waktu itu untuk menghancurkan warga suku Samin (yang menurut data pada Encyclopedia van Nederlandsch Indie, 1919, warga suku Samin berjumlah 2.300 kepala keluarga), tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati, dan Kudus.
Namun yang terbesar di Tapelan, Kecamatan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro, maka peranan Kyai Samin sebagai kekuatan antitesis dan reaktif terhadap sistem kolonialisme-imperialisme pada paruh terakhir abad kesembilan belas hingga awal abad kedua puluh, kita dapat membenarkannya.
Para ahli menyebutkan adanya tiga unsur dalam gerakan Saminisme yang berkembang di Pulau Jawa.
Pertama, gerakan ini mirip organisasi proletariat kuno yang menentang sistem feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung.
Kedua, aktivitas kontinyu; sepanjang yang dideteksi pihak aparat pemerintah terbukti bahwa gerakan ini bersifat utopis, bahkan tanpa perlawanan fisik yang mencolok.
Ketiga, tantangan yang dialamatkan kepada pemerintah yang diperlihatkan dengan prinsip “diam”, tidak bersedia membayar pajak, tidak bersedia menyumbangkan tenaga untuk negeri, menjegal peraturan agraria daerah yang berlaku, dan terlampau mendewakan diri sendiri sebagai pengejawantahan dewa yang suci.
Kyai Samin meninggal di pembuangan Sawahlunto tahun 1914, dan kitabnya yang berjudul Serat Jamus Kalimasada disita oleh penguasa.
Demikian pula beberapa kitab ‘pandom kehidupan wong Samin’, tak luput dari pembeslahan polisi kolonial.
Kabarnya, dalam penjara di Sumatera itu, Kyai Samin, yang nama aslinya Raden Kohar, sempat diminta menuliskan surat wasiat untuk warganya di Jawa.
Bersambung….
-Ki Sangkrip 2024